Oleh: Eric Sasono       

Film Indonesia tahun ini bisa jadi mencatat beberapa perkembangan menarik. Selain berhasil di beberapa festival, film seperti Berbagi Suami dan Opera Jawa juga menandai peningkatan pencapaian estetik dan tema. Berbagi Suami misalnya, mampu mengantarkan kisah multiplot sekaligus komentar budaya yang tajam dengan nada humor mengenai sebuah tema sensitif di negeri ini. poligami. Sedangkan Opera Jawa selain temanya kuat, juga mencatat adanya sebuah bentuk hibrida antara film dan opera yang belum pernah dibuat di negeri ini, bahkan mungkin di dunia.

Namun di tengah capaian-capaian estetik ini, ada beberapa soal yang masih perlu dicatat, bahkan mungkin dikuatirkan oleh dunia perfilman Indonesia. Catatan pertama adalah soal penonton. Tahun ini, sama seperti tahun lalu, tidak terjadi ledakan penonton seperti pada beberapa tahun lalu. Tahun ini film Heart dan Apa Artinya Cinta? memang mencatat perolehan penonton besar, tetapi masih belum menyamai fenomena tahun 2001-2002.

Hal ini sedikit banyak membuat para pembuat film berada dalam ketidakpastian. Para pembuat film memang berani memastikan bahwa penonton film Indonesia kebanyakan adalah pengunjung mal dan pusat perbelanjaan, tempat dimana kebanyakan bioskop berada. Maka kebanyakan film Indonesia menawarkan gambaran gaya hidup atau alternatif terhadap gaya hidup tersebut. Namun hal ini tidak merupakan jaminan bahwa mengandalkan gaya hidup saja akan berhasil mendatangkan penonton.

Seorang sutradara ternama menyatakan bahwa ia merasa sudah menyajikan segala rumus pengemasan gaya hidup ini untuk mendatangkan penonton. Ia mengadaptasi novel yang sangat laris, menggunakan bintang-bintang utama, memakai cara tutur yang populer, bahkan menggabungkan animasi dalam filmnya dan tak lupa promosi besar-besaran. Hasil penontonnya jauh di bawah perkiraannya. Apalagi yang harus dilakukan, keluhnya?

Tak heran jika seorang produser/sutradara terkemuka lainnya dalam percakapan santai dengan penulis tampak pasrah dengan segala jenis prediksi. Ia menyatakan sekarang ini yang penting adalah membuat film yang diyakininya saja, dan tak perlu berpikir soal apakah penonton akan membludak atau tidak. Tak ada jaminan sama sekali, maka yang terpenting adalah mendahulukan pertimbangan paling dasar: keyakinan diri sendiri akan film yang dibuat.

Ketidakpastian semacam ini membuat beberapa pembuat film berpaling ke rumus dasar: membuat film genre, mungkin lebih khusus lagi film horor. Mungkin penyebutan film genre, alias film dengan rumusan baku dan mudah dikenali, di Indonesia masih merupakan perdebatan. Namun film horor punya rumus yang baku dan jelas. Apalagi rumus mengangkat urban legend jarang gagal. Maka rumus ini diulangi pada Rumah Pondok Indah, Kuntilanak, Hantu Jeruk Purut, Bangku Kosong dan sebagainya. Intinya adalah menggunakan elemen cerita rakyat (rural maupun dan terutama urban sebagai penonton utama film Indonesia) sebagai daya tarik utama, ditambah dengan visualisasi gaya hantu Jepang yang sedang populer. Dengan adanya istilah atmospheric horror sebagai nama baru, maka jadilah daur ulang-daur ulang itu sebagai pendulang penonton.

Di tengah ketidakpastian penonton semacam ini, perkembangan estetika film Indonesia menampakkan hal yang menggembirakan. Sesudah tahun pada 2005, Impian Kemarau karya sutradara Ravi Bharwani sempat membuat terobosan estetika besar sebagai film puisi dan Gie yang berani menerobos kebuntuan jenis film biopik, tahun ini ada Opera Jawa dan Berbagi Suami, disamping Denias, Senandung di Atas Awan yang juga menarik.

Uji coba tema baru terus bermunculan, sekalipun tak seluruhnya tergarap baik. Tema sensitif seputar seksualitas atau latar belakang sosial dan politik lebih berani untuk ditampilkan. Perbaikan teknis terus diperlihatkan dan kesadaran sinematografis meninggi. Adopsi cara tutur media lain juga dicoba untuk menghadirkan sesuatu yang berbeda.

Namun di tengah capaian estetika dan penonton yang tak terlalu antusias ini, datanglah catatan kedua di penghujung tahun yang lebih merupakan kekuatiran. Film Ekskul karya Nayato Fio Nuala berhasil menggondol Piala Citra untuk empat kategori, termasuk film terbaik. Film yang ceritanya sangat mirip dengan sebuah film TV pemenang Emmy Award berjudul Bang, Bang You’re Dead serta soundtracknya mencomot mentah-mentah musik dari berbagai film lain, tak menawarkan sesuatu yang baru. Editing film ini yang juga memenangkan Piala Citra, merupakan bentuk sedikit lebih rumit saja dari editing model sinetron, akting juga mengandalkan pada ekspresi wajah, yang juga mengulang akting sinetron. Mungkin kerja kamera dan tata cahaya film ini yang sedikit rajin, tapi secara keseluruhan film Ekskul tergolong biasa saja.

Celakanya, dewan juri FFI tak mengumumkan pertimbangan mengapa film ini menang. Noorca Massardi, salah satu anggota dewan juri, dikutip oleh media menyebutkan bahwa film Ekskul menawarkan sesuatu yang tak biasa dan film ini merupakan pernyataan dewan juri terhadap FFI sebelumnya terutama agar para pembuat film Indonesia membuat film yang dekat dengan kenyataan sehari-hari. Pernyataan ini benar-benar membuat runtuh kepercayaan para pembuat film terhadap dewan juri film bioskop FFI 2006 dan terhadap festival itu sendiri. Mana mungkin tema penyanderaan anak SMA oleh teman sebaya mereka terjadi dalam kehidupan sehari-hari negeri ini? Pernyataan itu adalah pembuka yang bersifat debat kusir dan pengabaian besar-besaran terhadap pencapaian estetik film Indonesia lainnya pada tahun ini.

Ketidakmampuan dewan juri FFI menyodorkan sebuah pandangan yang segar dalam pilihan estetika film Indonesia tahun ini akhirnya membuat para pembuat film mempertanyakan FFI secara keseluruhan, merembet ke FFI sebelumnya. Keputusan-keputusan yang dibuat dalam FFI dalam tiga tahun terakhir terasa sebagai bentuk-bentuk kompromi yang tak mencerminkan pertimbangan estetik, lebih banyak pertimbangan yang tak jelas dasarnya, malah mirip bagi-bagi piala.

Sejak dimulai kembali tahun 2004, FFI diselenggarakan oleh panitia yang dibentuk oleh Badan Pertimbangan Perfilman Nasional, BP2N, sebuah badan kuasi pemerintah yang mendapat mandat UU No. 8/1992 tentang Film. Sebelumnya FFI dilaksanakan oleh para pekerja film lewat sebuah yayasan yang mandiri.

Akumulasi kekecewaan terhadap FFI bertahun-tahun ini berbuah pada lembaga-lembaga formal yang bergerak di bidang film, BP2N dan Direktorat Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata serta strategi mereka dalam mengembangkan perfilman negeri ini. Kegiatan lembaga-lembaga ini kerap tak melibatkan para pekerja film yang masih aktif dan kerap tidak transparan. Misalnya pemilihan perusahaan-perusahaan yang sudah lama tak aktif untuk memproduksi film hasil pemenang lomba skenario yang mereka buat. Hasilnya adalah film-film yang nyaris tanpa penonton. Demikian pula dengan strategi pengiriman banyak orang ke festival-festival di luar negeri tanpa membenahi persoalan di dalam negeri.

UU 8/1992 memang sempat “lolos” dari reformasi karena adanya peralihan dari Departemen Penerangan ke Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Di bawah Deppen dahulu, UU ini sempat dikelompokkan dengan UU Pers dan UU Penyiaran. UU Pokok Pers dan UU Penyiaran sudah direvisi. Di tengah proses revisi itu, Deppen sempat dibubarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid, berbagai institusi di bidang film –BP2N, LSF, Direktorat Film– kemudian menginduk ke Departemen yang kini menjadi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. UU Film luput dari perhatian para aktivis bidang komunikasi yang mengajukan revisi di bidang Pers dan Penyiaran.

Kini baik BP2N dan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata sedang mengajukan rencana revisi UU Film. Namun dengan tingkat sosialisasi yang rendah dan lebih banyak berupa basa-basi, besar sekali peluang UU hasil revisi ini tidak diterima oleh para pekerja film aktif. Apalagi dengan tingkat kepercayaan yang sangat rendah pada kedua lembaga tersebut. Jika situasi ini dibiarkan, sudah tentu krisis dalam bidang perfilman akan tumbuh dan mengarah pada sebuah situasi dikotomis yang tak menyenangkan semua pihak.
(Tulisan ini dimuat di Koran Tempo edisi 5 Januari 2007,
penulis adalah penerima Piala Citra 2005 & 2006 yang ikut juga mengembalikan pialanya ke DepBudPar)
 
sumber: www.layarperak.com